Friday, November 15, 2013

Percuma



Gambar dipinjam dari sini


Besok, ujian nasional  berlangsung. Aku harap-harap cemas. Inilah akibatnya jika belajar tidak pernah kontinyu dengan dicicil setiap hari. Maunya serba instan, sks alias sistem kebut semalam. Padahal, besok ada 2 mata pelajaran yang diujikan dan bahannya..amboi..banyak sekali. Dan jujur, 30 persennya pun, aku sama sekali tak paham.
Pemberitahuan akan adanya ujian nasional ini sudah dari beberapa bulan lalu. Namun dasarnya aku ini paling suka hidup santai, nggak mau menderita sedikit saja dan sukanya menunda waktu, jadilah seperti ini. Berburu catatan saja baru kemarin, pinjam punya temanku yang paling pandai di kelas, aku fotocopy semuanya. Maklum, di kelas aku ini paling malas soal catat mencatat. Kalau ada jam kosong, senangnya luar biasa dan paling cepat ngacir dari kelas, tanpa peduli ada tugas yang ditinggalkan oleh bapak ibu guru.
Kalau saja tidak ada presensi, aku malas sekali sekolah. Maunya main-main saja, begadang sampai tengah malam dengan teman-teman. Ikut gank motor, kebut-kebutan di jalan rasanya keren sekali. Memacu adrenalinku sekaligus  menantang jiwa petualangan masa remajaku. Selalu ingin mencoba, termasuk banyak hal yang dilarang oleh orang tua, sengaja aku langgar.
Bayangkan, betapa malasnya harus bangun pagi-pagi, berangkat ke sekolah, lalu mendengarkan ceramah guru yang sangat membosankan itu. Bikin ngantuk saja. Sepertinya tak ada gunanya sekolah di jaman sekarang jika pertanyaan apa saja bisa dijawab oleh mbah Google. Iya kan..?
“Sekolah itu penting, demi masa depanmu..buat apa bayar mahal jika kamu ogah-ogahan sekolah begini ? Percuma bapakmu membanting tulang demi sekolah kamu..”
“Kalau boleh memilih, aku tidak disekolahkan juga tidak apa-apa, Pak..tidak usah repot-repot..”
“Apa kamu bilang ? Anak jaman sekarang bisanya membantah orangtua saja, kita lihat jadi apa kamu nanti, jika belum tahu apa-apa saja sudah sombong..!”
Bapak meradang. Ini perdebatan yang kesekian. Semuanya terasa begitu memuakkan. Kenapa semuanya harus diatur begini, begitu..
“Tidak semua orang punya kesempatan bisa sekolah seperti kamu. Jalan hidupmu masih panjang, jangan sampai kamu menyesal di masa tuamu..”
Pelan-pelan, aku beringsut keluar. Menuntun sepeda motorku, kemudian menyalakan motorku di ujung gang. Dan aku sudah hapal, akan terdengar teriakan bapak memanggil namaku ketika tersadar aku kabur begitu saja. Tanpa pamit. Sudah beratus-ratus kali aku mendengar ucapan bapak seperti itu. Namun dasarnya aku ini bandel dan kurang ajar, semua ucapan itu hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Guru-guru di sekolah pun sudah hapal dengan tabiatku. Dan yang mereka bisa lakukan sekarang adalah dengan pembiaran. Karena dengan nasehat apapun, tak akan bisa membuatku  menjadi anak yang manis. Bapak pun sudah berulang kali menjadi langganan panggilan guru BP jika aku berulah di sekolah. Berkelahilah, boloslah, pokoknya selalu membuat masalah.  Dan sampai saat ini, aku belum pernah jera. Lha wong dengan orang tua saja aku berani membantah, apalagi dengan orang lain ? Nggak akan mempan. Memang kepalaku ini keras sekali. Entah salah siapa aku bisa jadi begini.
Kembali ke ujian nasional besok, aku sama sekali tidak siap. Dari tadi aku hanya termangu bingung mau belajar darimana. Fotocopy catatan ini begitu banyak, tak akan mungkin kulahap dalam waktu semalam. Kulihat jam di dinding, sudah hampir jam dua belas malam. Senakal-nakalnya aku, ada ketakutan juga jika besok aku tidak lulus. Bagaimanapun, harga diriku dipertaruhkan. Nakal boleh saja, tapi sembodo. Harus begitu. Kalau aku tidak lulus, berarti akan menambah waktu tersiksaku di bangku sekolah. Jadi, malam ini aku harus menentukan nasibku sendiri.
Aha..aku ada akal. Aku mengambil beberapa kertas, kulipat-lipat dan kutulis dengan bahan yang kuanggap penting. Aku memprediksi soal apa yang akan keluar besok dan aku menyiapkan contekannya. Curang..? Ah, yang penting aku bisa lulus. Persetan tentang bagaimana caranya apakah halal atau haram. Bukankah selama ini banyak  berita di tivi kalau anak-anak sekolah diajari berbuat curang bahkan oleh gurunya sendiri demi prestise kelulusan sekolah mereka ? Apa bedanya dengan aku sekarang ? Ah, iya..bedanya, aku melakukannya sendiri, dengan kesadaran tanpa paksaan dari siapapun untuk berbuat curang.  Perkara dosa, biar aku sendiri yang tanggung. Urusanku sama Tuhan.
Jadi, kupersiapkan contekan untuk dua mata pelajaran itu. Aih..repot juga ternyata membuat contekan. Mau tak mau feeling-ku harus jalan, memprediksi mana yang besok akan keluar dalam soal ujian. Memoriku  timbul tenggelam berusaha mengingat apa yang biasa diterangkan berulang-ulang oleh guru. Biasanya itu yang menjadi soal primadona. Tapi ya percuma, wong aku tidak pernah memperhatikan kalau sedang diterangkan. Pikiranku suka mengembara kemana-mana. Termasuk berkhayal tentang cita-citaku menjadi pembalap seperti Valentino Rossi. Wuah..pasti aku akan dielu-elukan banyak orang, dikelilingi banyak wanita cantik, senangnya…. Toh, aku sudah punya nyali yang cukup besar, yang menjadi modal utama jika ingin menjadi pembalap.
Jadi ya, lagi-lagi aku memilih secara acak saja bahan  mana yang kuanggap penting menjadi soal ujian. Kalau terpaksa, aku memakai metode menghitung kancing baju,  untuk memilih bahan yang kira-kira pas untuk soal ujian. Duh, pegal juga tanganku menulis dan berpikir untuk mengingat-ingat, memilih mana yang akan keluar besok. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tiga. Ah..proses ini harus kupercepat. Kertasnya panjang sekali, kulipat menjadi kecil sekali. Aku mulai berpikir mencari cara yang paling jitu supaya guru lengah dan tidak mengetahui contekanku itu. Ah, itu sih situasional saja. Lihat bagaimana kondisi di kelas besok pagi. Yang pasti aku  harus bersikap tenang, tidak mencurigakan saat melakukan ritual mencontek itu. Pasti bisa, lha wong aku ini si raja akting, dan punya 1001 cara untuk melakukan kecurangan secara aman terkendali.
Fiuh..akhirnya selesai juga contekanku. Olala..jam di dinding menunjukkan pukul lima. Aku takjub, berhasil melewati 5 jam berkutat dengan bahan pelajaran yang terasa menjemukan itu. Kalau bukan demi harga diri, aku enggan untuk melakukannya. Ya, sekali-kali bikin bangga orangtualah jika aku bisa lulus ujian nanti. Ini lho, pak..anakmu yang nakal ini, ternyata sembodo juga kan..bisa lulus ? Baru aku bisa bertepuk dada. Perihal caranya bisa lulus bagaimana, ssttt..ini rahasia, jangan bilang-bilang ya..
Hoahem..aku dilanda rasa kantuk yang hebat. Walaupun aku ini biasa begadang dan 3 gelas kopi sudah ludes kuminum, namun tak urung mengantuk juga. Ah..masih ada waktu satu jam untuk tidur. Lumayan daripada batal ikut ujian. Kusetel weker jam 6 pagi. Lalu aku pulas menuju pulau kapuk dengan sukses.
Samar-samar aku mendengar bunyi weker. Mataku terasa berat. Dengan mata terpejam, tanganku meraih weker itu dan mematikan alarmnya. Ah..berisik. aku ingat aku akan UN hari ini, tapi aku memberi toleransi waktu 5 menit untuk memuaskan kantukku ini. Ya, lima menit saja dan aku akan bangun tanpa bunyi weker lagi.
Aku tersentak saat aku merasa tubuhku basah. Dingin merasuk begitu cepat. Dalam keadaan mata yang belum sepenuhnya terbuka, aku melihat bapak berkacak pinggang dengan menenteng ember. Inilah cara bapak membangunkanku.
“Mau bangun jam berapa cah bagus ? Mau lulus ujian nggak kamu ? He..?”
Tergagap aku melihat jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Oalah..alamat telat ini. Bergegas aku menuju kamar mandi. Handuk di jemuran kusambar begitu saja. Aku mandi kilat ala bebek. Cukup muka ini basah oleh air dan gosok gigi. Itu yang utama. Bukankah badanku sudah basah diguyur air saat bapak membangunkanku ? Cocok.
Seragam abu-abu kukenakan ala kadarnya. Hem putih kumasukkan celana dengan serampangan. Tak peduli kusut dan jauh dari kata rapi. Aku alergi dengan segala bentuk kerapian. Menurutku, laki-laki rapi itu identik dengan banci. Lagipula, siapa yang mau dengan susah payah mencuci dan setrika baju di rumah ini ? Sejak ibu meninggalkan rumah ini, aku mencuci bajuku sendiri tanpa pernah disetrika. Ah..kalau tidak terpaksa, mana mau aku melakukannya. Dan baju bapak ? Siapa yang mencucinya ? Ya bapak sendirilah, tapi memang bapak membiarkan aku untuk mencuci bajuku sendiri supaya tidak manja. Bah.
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan di atas angin menuju sekolahku. Contekanku sudah bertengger manis di saku bajuku. Semalam aku sudah membentuknya sedemikian rupa dengan lem dan karet sehingga bisa digulung begitu kecil. Rencananya, contekan itu akan aku tempel di laci meja, sehingga gulungannya nanti bisa ditarik saat pengawas lengah. Siplah pokoknya. Lihai.
Sampai di sekolah, tepat saat bel sekolah berdentang. Masih untung aku nggak telat. Aku senyum-senyum iseng, menggoda teman-temanku yang pasang muka tegang. Sepertinya hanya aku yang berwajah tenang saat ini.
Semua peserta ujian sudah duduk rapi di bangkunya masing-masing. Semuanya tegang, gelisah dan harap-harap cemas. Semua menoleh begitu tiga pengawas memasuki ruangan. Salah satu pengawas memimpin kelas.
“Selamat pagi anak-anak..”
“Selamat pagi pakkkk…”
Semua menjawab serentak. Aku menangkap, ada kesan gelisah di wajah para pengawas. Seperti ada sesuatu yang akan dibicarakan.
“Anak-anak..dengan berat hati bapak mengumumkan, sampai saat ini soal ujian dari pusat belum sampai ke sekolah. Padahal jadwal ujian nasional hari ini. Maka dengan terpaksa ujian nasional ditunda sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Mohon maaf atas keterlambatan ini.”
Aku melongo. Sama sekali tidak menduga dengan apa yang dikatakan bapak pengawas itu. Seketika kelas menjadi gaduh, semuanya bingung, tak tahu harus berbuat apa, wajah-wajah kecewa begitu jelas terpancar. Bahkan beberapa ada yang menangis. Perasaanku menjadi tidak karuan. Kecewa, ya akupun kecewa. Kerja kerasku semalam membuat contekan berakhir sia-sia hari ini. Pemerintahan macam apa ini, jika tidak siap dengan UN yang dicanangkannya sendiri. Ah..sebodoh-bodohnya dan senakal-nakalnya aku, aku merasa geram dengan ketidakbecusan  ini. Tahu bakalan seperti ini, aku tidur saja tadi malam tanpa repot-repot buat contekan. Huh.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...